Plt. Sekretaris Dirjen Dikti Kemendikbudristek, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengungkapkan bahwa ada perguruan tinggi negeri yang mengenakan uang kuliah tunggal (UKT) yang sama harganya dengan biaya kuliah tunggal (BKT).
Meski demikian, perguruan tinggi yang mengenakan UKT lebih rendah dari BKT juga masih mendominasi.
BKT merupakan biaya keseluruhan dari biaya operasional setiap mahasiswa dalam satu semesternya. Sedangkan uang kuliah tunggal (UKT) merupakan sebagian biaya yang ditanggung mahasiswa setelah dipotong oleh bantuan pemerintah dari keseluruhan BKT.
"Tetapi secara umum, kalau anda melihat memang ada beberapa perguruan tinggi yang menetapkan batas UKT tertingginya itu sama dengan BKT. Tapi, lebih banyak perguruan tinggi yang menetapkan batas UKT tertingginya itu masih jauh di bawah BKT," ujar Tjitjik dalam paparannya di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5).
Menurut Tjitjik, dengan terbatasnya biaya dari negara untuk membantu perguruan tinggi, maka ditetapkan sebuah program UKT Berkeadilan. UKT Berkeadilan merupakan kategori UKT berdasarkan kemampuan dari orang tua atau wali mahasiswa.
"Nah, ini permasalahannya semua saya melihat kita ini ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini amanah undang-undang. Bagaimana caranya dengan keterbatasan keuangan negara ini? Jalannya dengan cara ini, pengenalan UKT Berkeadilan," ucap Tjitjik.
Dia menjelaskan, bantuan pemerintah terkait dengan kategori-kategori UKT dikhususkan kepada mahasiswa yang keluarganya berekonomi rendah.
Maka itu, mahasiswa dengan keluarga yang mampu membayar UKT hingga setara harganya dengan BKT tidak perlu menggunakan atau meminta bantuan kepada pemerintah.
"Kalau misalnya kita tahu kita punya ada beberapa, misalnya mahasiswa yang orang tuanya mampu membayar dengan UKT tertinggi, yang sama dengan BKT, paling tidak bantuan pemerintah itu dapat diberikan untuk memperbanyak akses yang kurang mampu. Karena apa? Yang mampu ini bisa membiayai operasionalnya sendiri," pungkasnya.
Prioritaskan Wajib Belajar 12 Tahun
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi memprioritaskan pendanaan pendidikan terpusat pada program wajib belajar 12 tahun, program ini mencakup pendidikan SD, SMP dan SMA.
"Sebenarnya ini tanggungan biaya yang harus dipenuhi agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu, tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education (pendidikan tinggi). Jadi bukan wajib belajar," ujar Tjitjik.
Kemudian, dengan tidak masuknya pendidikan tinggi ke dalam program wajib belajar, maka pendanaan dari Kemendikbudristek terpusat pada instansi yang masuk ke dalam wajib belajar 12 tahun.
Namun, Kemendikbudristek juga tetap mengucurkan bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) sebagai bantuan biaya dari pemerintah untuk PTN yang kekurangan biaya operasional pendidikan.
"Apa konsekuensinya karena ini adalah tertiary education? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan, diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Karena itu amanat undang-undang. Sehingga bagaimana untuk pendidikan tinggi? Tentunya pemerintah memberikan tetap bertanggung jawab, tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri yang kita sebut dengan BOPTN," tuturnya.
Sumber: https://kumparan.com/